
Refleksi Kritis pada Perayaan Hari Komunikasi Sedunia Tahun 2025
Oleh :Dr. Jonas K.G.D. Gobang, S.Fil., M.A.
Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Nusa Nipa
Siapakah yang “berkuasa” di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi, manusia atau teknologi? Pertanyaan inilah yang mendorong penulis untuk berpikir tentang manusia atau menempatkan manusia sebagai subyek kajian dalam arus kemajuan teknologi komunikasi. Karena itu wajar jika ikhtiar dari refleksi ini adalah ingin menemukan “superman” atau “superteknologi”.
Banyak contoh yang dapat kita sebutkan ketika manusia berhadapan dengan teknologi komunikasi sebagai alat dan ketika teknologi komunikasi itu seolah-olah menjadi manusia (alter human) dan menghumanisasikan manusia. Ketika sedang mengerjakan tugas perkuliahan, saya menggunakan teknologi komputer sebagai alat yang dapat membantu saya. Selain itu saya juga membutuhkan internet untuk melengkapi refleksi ini dengan beberapa teori komunikasi. Lagi-lagi teknologi berperan sebagai alat yang membantu saya untuk mendapatkan informasi. Dan ketika saya pun menonton televisi dan melihat orang yang saya "benci" secara politis (Maaf! Tidak sopan kalau saya sebutkan namanya di sini) maka spontan saya memaki-makinya di depan layar televisi, mengumpat-umpatnya, menumpahkan seluruh kemarahan saya, seolah-olah televisi itu mampu mendengarkan saya. Rasionalkah saya?
Mungkin saja pengalaman saya di atas merupakan satu contoh kecil dari sekian banyak contoh kegelisahan manusia ketika berhadapan dengan teknologi komunikasi. Kegelisahan saya sesungguhnya mengkristal dalam pertanyaan berikut: apakah kemajuan teknologi komunikasi menunjukkan kemenangan manusia (manusia menjadi seperti superman) atau justru manusia dikuasai (dijajah) oleh teknologi itu sendiri (teknologilah yang menjadi superteknologi)?
Pemikiran Kritis Filosofis
Bangunan tulisan ini didasarkan pada pemikiran filosofis Karl Marx. Karl Marx lahir tahun 1818 di Trier dan meninggal di London tahun 1883. Marx dengan sangat tajam menganalisis dan mengkritik sistem liberalism yang berlaku pada masanya. Produksi yang sebenarnya dimaksudkan untuk membuat manusia menjadi bebas, tetapi de facto membuat manusia menjadi budak. Si pekerja diasingkan dari dirinya sendiri. Menurut pandangan Marx, sistem kapitalis itu suatu saat akan hancur (Snijders, 2004: 74-75).
Dalam pandangan Marx, manusia adalah makhluk yang bekerja (Homo Faber). Inilah hakikat manusia. Dalam dan melalui pekerjaannya manusia menjadi diri sendiri, bebas dan bahagia. Untuk bekerja ia menciptakan alat. Alat produksi makin lama makin berkembang. Sejarah alat produksi menentukan sejarah manusia. Bekerja berarti bekerjasama. Jadi, dalam dan melalui pekerjaan manusia menjadi saudara bagi sesamanya. Alat dan sistem produksi menentukan hubungan antar manusia.
Filsafat Marx disebut materialisme historis. Sejarah materi yaitu sejarah alat-alat produksi sebagai struktur dasar menentukan struktur atas. Hukum, kesenian, etika, agama, dan sebagainya, termasuk dalam struktur atas. Jika sistem produksi bersifat kapitalis, maka seluruh struktur atas juga bersifat kapitalis dan mendukung golongan yang berkuasa. Undang-undang hanya membela kaum kapitalis. Etika pun mendukung golongan yang berkuasa. Agama disebutnya racun karena membuat kaum buruh sabar dan tidak protes. Mereka mengharapkan suatu kebahagiaan sesudah kehidupan di dunia ini. Filsafat Marx juga disebut materialisme dialektis karena gerakan sejarah berjalan dialektis melalui tesis, antitesis, dan sintesis (Snijders, 2004: 75).
Karl Marx yakin bahwa sistem produksi yang ada dalam kapitalisme akan hancur. Dasar keyakinannya adalah pandangan Marx atas sejarah yang berjalan menurut hukum deterministik dialektis. Namun ramalan Marx ini belum terbukti hingga saat ini. Bahkan justru kapitalisme kian merajalela.
Arus kemajuan teknologi komunikasi yang dahsyat menggugat kesadaran kritis kita untuk bertanya, di manakah posisi manusia? Berkaitan dengan itu ada pendapat yang berkembang marak pada abad ke-20, yaitu ide tentang superman.
Superman (bahasa Jerman: Übermensch) adalah manusia ideal menurut Nietzsche. Superman mengembangkan ketrampilannya secara penuh, memenuhi potensinya, dan merangkul kehidupan – kehidupan dalam badan – dengan segala gairah dan nafsunya. Superman mempunyai visi dan menggerakkan langit dan bumi untuk mencapai tujuannya. Übermensch dimaksudkan untuk membebaskan dan meningkatkan mutu hidup manusia dan bukannya untuk menginjak orang guna mencapai visi yang picik. Namun sayang konsep superman ini salah dimainkan oleh beberapa orang yang kemudian menjadi penguasa, seperti Hitler, Napoleon, dan Julius Caesar (O’Donnel, 2009 : 102).
Dalam hubungannya dengan posisi manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi, manusia seharusnya tetap menjadi subjek yang memiliki kesadaran kritis dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi sebagai hasil cipta atau karsa manusia. Teknologi komunikasi sebagai hasil cipta atau karsa manusia dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik dan memudahkan manusia untuk mencapai tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup yang lebih baik.
Posisi ideal seperti yang digambarkan di atas rasanya sulit untuk dipastikan jika kita melihat kenyataan yang terjadi. Kemajuan teknologi komunikasi yang sangat dahsyat telah “menyeret” manusia pada ketergantungan yang pada gilirannya akan mengirasionalkan manusia. Manusia bahkan bisa teralienasi dan seolah bermetamorfosis menjadi “robot”. Adakah Superman akan berubah menjadi superteknologi?
Ambiguitas Teknologis
Berbicara tentang arus kemajuan teknologi komunikasi, kita tentu akan mengacu kepada pandangan dari berbagai ahli yang secara sadar ingin mengupas tentang sejauh mana pengaruh teknologi itu bagi manusia. Tentu saja ada banyak perspektif yang boleh disimak dari aneka konsep dan pendapat serta teori tentang komunikasi. Namun penulis ingin mengungkapkan bahwa dari sekian pandangan yang ada, secara common sense, penulis melihat adanya ambiguitas teknologis, artinya di satu sisi teknologi itu sebagai hasil cipta atau karsa manusia dan berguna bagi manusia, namun di sisi lain teknologi itu sebagai satu entitas (alter human) yang mampu mengirasionalkan manusia.
Tulisan ini sebenarnya ingin merefleksikan sejauh mana manusia memposisikan dirinya atau bagaimana posisi yang tepat bagi manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi agar ia tidak terjebak dan terjerumus dalam dua tegangan dari ambiguitas teknologis tersebut. Sebab pada dasarnya manusia harus tahu posisinya yang jelas berhadapan dengan berbagai kemajuan dunia di antaranya kemajuan teknologi komunikasi. Karena secara filosofis, manusia akan mengalami "penderitaan" jika teralienasi oleh ambiguitas teknologis. Manusia seolah terus berjalan sambil "mengangkangi dua dunia". Manusia secara etis-humanis harus mampu memilih yang terbaik bagi dirinya dan keturunannya. Untuk melengkapi refleksi atas diri manusia di tengah arus kemajuan teknologi komunikasi ini, kita sejenak melihat pendapat beberapa ahli yang secara metodis akademis telah membuat studi ilmiah perihal media dan teknologi komunikasi.
Sandra Ball Rokeach dan Melvin DeFleur misalnya menjelaskan pemanfaatan media sebagai alat dalam teori ketergantungan media (Media Dependency Theory). Menurut teori ini, orang menggunakan media dengan berbagai alasan. Media adalah alat yang dipakai untuk mendapatkan informasi, hiburan, dan untuk membangun relasi sosial. Peran media menjadi sangat penting. Namun media tetap menjadi instrumen (alat) yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan akan informasi, hiburan, dan relasi sosial (Liliweri, 2002).
Lain lagi dengan apa yang dijelaskan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass dalam Media Equation Theory (1996). Dalam teori tersebut mereka menjelaskan: "Teori ini memprediksikan mengapa orang merespons secara tidak sadar dan otomatis terhadap media komunikasi seolah-olah itu adalah manusia." Teori ini memprediksikan bagaimana manusia pada suatu tahapan dalam membangun komunikasi akan secara tidak sadar dan spontan menganggap media seolah-olah sebagai manusia. Media bukan lagi menjadi "alat" tetapi seolah-olah menjadi seperti manusia (alter human).
Marshall McLuhan pada tahun 1962 atau tiga dekade sebelum Byron Reeves dan Clifford Nass, mencoba untuk menjelaskan hubungan manusia dengan media komunikasi melalui Teori Teknologi Determinisme. Teori ini menjelaskan bahwa ketika terjadi perkembangan sistem teknologi yang baru, masyarakat dan budayanya pun akan berubah atau beradaptasi untuk dapat memanfaatkan teknologi baru tersebut. Tentu saja teori ini tidak berlaku pada masyarakat dan budaya yang vested interest-nya tinggi. Namun bagi masyarakat yang sudah maju sekalipun, menurut teori ini ketergantungan pada teknologi belum sampai membawa manusia pada irasionalitas. Masih ada kesadaran kritis pada manusia atau masyarakat untuk berubah atau beradaptasi dalam memanfaatkan teknologi baru.
Pandangan filosofis tentang perkembangan teknologi juga datang dari Karl Marx dan Martin Heidegger. Marx menghubungkan teknologi sebagai bagian dari produksi material yang diberikan kepada masyarakat untuk memajukan aktivitas individual sebagai satu model kehidupan (mode of life). Marx dengan tegas menghubungkan teknologi dan budaya, dan menunjukkan teknologi menjadi sentral dari aktivitas kapitalis modern. Sementara itu pandangan filosofis tentang teknologi dari Martin Heidegger memberi batasan pada perdebatan tentang teknologi dan praksis sosial dari kaum Marxist pada dua hal penting. Pertama, Heidegger berpendapat bahwa definisi dari teknologi perlu dibatasi dari asosiasi atau pandangan umum sebagai obyek-obyek fisik atau alat-alat kepada suatu pemahaman pada asosiasi sosial praksis atau sistem pengetahuan, atau techniques (teknik). Kedua, Heidegger menawarkan bahwa modernitas dapat ditemukan pada bagian ontologi dari teknologi (Flew, 2005: 28-29).
Di tengah ketidakberdayaan manusia dan dominasi teknologi komunikasi yang kian dahsyat, kesadaran etis-kritis perlu digemakan oleh manusia terutama dari kalangan akademisi, agamawan, para kritikus, kaum humanis. Hal ini guna menjaga keseimbangan baik bagi manusia itu sendiri maupun bagi alter human yaitu alam, bumi dan segala isinya termasuk benda atau alat yang digunakan oleh manusia untuk terus hidup bersama ‘yang lain’ di dalam satu dunia yang sama.
Berbagai pendapat yang sempat diangkat melalui refleksi ini tentu saja ingin memberikan kesadaran bahwa kita tidak pernah bisa menafikan adanya perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat dan semakin canggih. Sikap yang tepat adalah menjaga kesadaran dan meningkatkan kemampuan untuk memahami cara atau teknik penggunaan teknologi komunikasi yang baru secara baik, strategis, dan efektif.
Hal tersebut di atas dirasakan penting karena sering terjadi di dunia, juga di Indonesia bahwa teknologi komunikasi dalam menjalankan fungsinya untuk mentransmisi pesan kepada publik tak jarang terjebak dalam "manipulasi kebenaran". Penipuan atau manipulasi teknologi komunikasi yang dimainkan baik dalam media cetak, media elektronik yaitu media penyiaran dan cybermedia juga dipengaruhi oleh sistem dan aktor (manusia) yang memiliki kepentingan baik politis, ekonomis maupun kepentingan sosial (kelompok, agama, etnis). Manipulasi seperti ini oleh Jean Baudrillard disebutnya sebagai hiper-realitas (O'Donnel, 2009 : 45). Karena itu kesadaran etis-kritis tetap kita butuhkan[titik!]. Verba volant, scripta manent (kata-kata terbang menghilang, tulisan tinggal tetap). Mudah-mudahan ada gunanya!
Berita lainnya di Berita Google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar