Respon Terhadap Temuan KDM Soal Program Pendidikan Anak Nakal di Barak TNI, KPAI Ditegur Kembali

.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mengungkap keprihatinan terkait ditemukannya sejumlah masalah pada program penempatan anak bermasalah di barak militer Jawa Barat. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menganjurkan agar KPAI tidak sekadar memberi kritik atas Program Pendidikan Karakter, Disiplin, dan Bela Negara Khusus yang dirancang oleh Pemprov Jawa Barat, melainkan juga ambil bagian serta berpartisipasi aktif.

"Seharusnya KPAI fokus pada hal lain hari ini, bukannya mengevaluasi kelalaian dalam tindakan-tindakan yang telah diambil sebagai tanggapan mendesak terhadap suatu masalah," ungkap Dedi saat berada di gedung KPK dengan warna merah dan putih di Jakarta, Senin (19/5/2025). Hal tersebut disampaikannya setelah bertemu dengan komisi anti-rasuah guna membicarakan tentang perubahan alokasi dana Anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Dedi memberikan klarifikasi itu sebagai tanggapan atas laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyebutkan bahwa peserta dalam program tersebut dipilih bukan berdasar pada penilaian ahli psikologi, melainkan hanya berdasarkan saran dari guru pembimbing konseling (BK). Selain itu, KPAI juga mencatat bahwa sebanyak 6,7% siswa mengaku tak memahami tujuan mereka ikut serta dalam program ini.

"KPAI perlu melakukan upaya penanganan terhadap sejumlah masalah yang dihadapi oleh para pemuda dan anak-anak kita. Masalah tersebut mungkin berasal dari lingkungan keluarga mereka atau bahkan institusi pendidikan seperti sekolah, yang pada gilirannya dapat memicu perilaku kriminal," ujarnya.

Dia melanjutkan bahwa KPAI dapat menerapkan program yang mencakup puluhan ribu pelajar dengan permasalahan di Jawa Barat guna mendapatkan pendampingan sehingga situasi ini bisa terselesaikan. "Jika KPAI hanya fokus pada urusan seperti kasur dan hal-hal serupa, maka tantangan besar itu tak akan tertangani," imbuhnya.

Di samping itu, ia menyebutkan bahwa KPAI bisa mengevaluasi efeknya pada murid-murid dengan masalah yang turut serta dalam program Pemprov Jawa Barat tersebut.

"KPAI dapat melihat bahwa kemarin 39 anak telah lulus, bagaimana kondisi mereka, tingkat disiplinnya, serta rasa simpati mereka. Bahkan ada yang menangis di hadapan ibunya sambil mencium kaki sang ibu. Bukan berarti hal tersebut pasti dipelajari di sekolah," ujarnya.

Pada saat bersamaan, ia menyebutkan bahwa pada hari Selasa (20/5/2025), terdapat 273 pelajar yang akan menyelesaikan program mereka di Depo Pendidikan Bela Negara Resimen Induk Komando Daerah Militer III/Siliwangi, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kemudian, dikatakannya pula bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat merancang untuk memfasilitasi pembinaan bagi 15 sampai dengan 20 ribu pelajar bermasalah lewat program Pendidikan Karakter, Disiplin, serta Bela Negara Khusus.

Seketika sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritik Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa dan disebut-sebut sebagai program seperti pendidikan barak militer karena dianggap bisa melanggar hak-hak dasar anak-anak. Selain itu, KPAI juga mencatat bahwa kurang ada standarisasi resmi yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk pelaksanaannya.

Salah satu contoh pelanggaran atas aturan tersebut dapat dilihat melalui penerapan praktik diskriminasi serta ketiadaan partisipasi anak dalam prosesnya. Hal itu berpotensi menciptakan persepsi negatif seperti menyebut mereka sebagai anak bandel atau anak dengan masalah pada para pengikut program," ungkap Ketua KPAI Ai Maryati Solihah saat memberikan keterangan pers secara virtual di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Maryati menyebut bahwa program pendidikan itu perlu dilaksanakan sambil menghargai, melindungi, dan mewujudkan prinsip-prinsip utama dalam pencapaian hak-hak anak, yaitu tidak adanya diskriminasi, penekanan pada kesejahteraan maksimal bagi anak-anak, perlunya menjaga kehidupan, pertumbuhan, dan perkembangannya, serta memberi nilai kepada pandangan si anak.

"Prinsip-prinsip itu perlu menjadi fondasi utama dari semua keputusan yang berkaitan dengan anak-anak, sehingga mereka bisa menerima perlakuan yang adil, memastikan bahwa kebutuhan mereka jadi fokus, serta suara mereka terdengar," ujarnya.

KPAI juga mendapati bahwa kriteria pemilihan para peserta bukan didasari oleh penilaian ahli psikologi profesional, tetapi hanya berdasar pada saran dari guru Bimbingan Konseling (BK). Menurut catatan KPAI, sebanyak 6,7% pelajar menyebutkan bahwa mereka tidak tahu alasannya terlibat dalam kegiatan tersebut.

"Hasil ini mengindikasikan pentingnya evaluasi ulang tentang keakuratan target peserta dalam implementasi program," ungkap Wakil Ketua KPAI Jasra Putra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar