
Kongres Serikat Pekerja Korea (KCTU) telah mengumumkan pemogokan umum selama dua hari pada tanggal 16 dan 19 Juli, menuntut upaya pembaruan terhadap Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Serikat Pekerja yang umumnya disebut sebagai "undang-undang amplop kuning," serta pencabutan sistem pengungkapan akuntansi serikat pekerja. Pengumuman ini muncul hanya beberapa hari setelah mantan ketua KCTU dinominasikan untuk memimpin Kementerian Tenaga Kerja dan Kesempatan Kerja, memicu kekhawatiran bahwa pemerintahan baru menyimpang dari komitmen awalnya terhadap hubungan industrial seimbang dan reformasi, demi mendukung agenda serikat pekerja. Namun bahkan sebelum pemerintahan sempat memulai langkah-langkahnya, KCTU telah lebih dulu memberi tekanan melalui pemogokan nasional—suatu pendekatan yang menurut para kritik mencerminkan sikap konfrontatif kelompok tersebut.
Tuntutan serikat pekerja tersebut sangat bermasalah. Undang-undang amplop kuning akan memungkinkan serikat subkontraktor untuk melakukan negosiasi langsung dengan perusahaan induk. Dunia usaha telah menyatakan penolakan keras, dengan sebagian memperingatkan, "Beberapa perusahaan memiliki ratusan subkontraktor—kami akan habiskan seluruh tahun hanya untuk bernegosiasi." Revisi yang diusulkan juga akan membatasi kemampuan pengusaha menuntut ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh pemogokan ilegal—perubahan yang berpotensi mendorong lebih banyak pemogokan tak sah dan memperburuk konflik ketenagakerjaan. Seruan untuk menghapuskan sistem pelaporan akuntansi serikat pekerja bahkan memicu reaksi yang lebih besar. Sistem ini ada untuk memastikan transparansi dalam cara serikat mengelola iuran anggota dan subsidi publik—sebuah perlindungan penting menurut standar apa pun. Lebih dari 90 persen serikat yang berafiliasi sudah mematuhinya. Penolakan KCTU memunculkan sebuah pertanyaan mendasar: Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?
Ekonomi Korea Selatan saat ini sudah menghadapi tekanan yang cukup besar—mulai dari kenaikan tarif yang diprakarsai Amerika Serikat dan melemahnya ekspor hingga permintaan domestik yang lesu. Era gerakan buruh yang semata-mata bertujuan memperluas hak serikat pekerja telah berlalu. Dinamika kekuatan telah bergeser. Kini, serikat pekerja kerap memiliki pengaruh yang lebih besar dibanding perusahaan yang dihadapinya. Krisis sesungguhnya terletak pada semakin dalamnya ketimpangan struktural: antara pekerja tetap dan pekerja kontrak, perusahaan besar dan usaha kecil, perusahaan induk dan subkontraktor.
Namun dengan dilantiknya pemerintahan baru dan masuknya mantan pemimpin KCTU ke dalam Kabinet, reformasi tenaga kerja yang bermakna—reformasi yang menangani ketimpangan-ketimpangan ini—semakin sulit bahkan untuk sekadar diangkat. KCTU, yang terutama mewakili pekerja tetap di perusahaan-perusahaan besar, tetap tidak puas. Sebaliknya, serikat tersebut terus mengajukan tuntutan yang dianggap oleh para kritikus sebagai berlebihan, disertai pemogokan yang mengganggu. Dengan seorang menteri tenaga kerja yang berasal dari kalangan mereka sendiri serta pemerintah yang kini dinilai condong kepada buruh terorganisir, KCTU menghadapi sedikit perlawanan. Situasi inilah yang justru membuat keadaan semakin mengkhawatirkan. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana tuntutan serikat yang tidak terkendali ini akan berlanjut—dan konsekuensi apa yang mungkin timbul bagi perekonomian dan pasar tenaga kerja Korea Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar