“Pak Sadi almarhum?” tanya Kabayan. Pak Odih mengangguk, “Iya itu. Itu kan dulunya guru aljabar eh matematika kalau sekarang mah,
kalau ngajar itu enak, gampang dimengerti. Tapi setelah kejadian itu,
ia nggak ngajar lagi, jadi petani. Padahal dulu sekolah nggak
mempermasalahkan itu, tapi Pak Sadi-nya sudah terlanjur sakit hati pada
negara, dan katanya sih sempat diintimidasi aparat..” jawab Pak Odih.
“Kalau sekarang, apa enaknya jadi guru Pak?” tanya
Kabayan lagi. “Ya mungkin karena sekarang guru sudah dianggap sebagai
profesi, jadi lebih dihargai. Tapi saya sendiri nggak merasa bahwa guru
itu profesi, nggak mau tepatnya. Saya masih merasa pekerjaan ini sebagai
pengabdian. Soalnya kalau saya menganggap pekerjaan saya sebagai
profesi, biasanya yang terpikir itu hanya urusan hasil pribadi, bukan
dampak pekerjaannya. Kalau jadi profesi, kesannya saya mencari
keuntungan dengan pekerjaan itu. Tuntutannya juga tinggi, harus
profesional. Padahal saya sendiri nggak merasa sebagai guru yang
profesional, rasanya kemampuan mengajar saya juga nggak berkembang
banyak, masih seadanya. Saya memang berusaha, tapi ya sudah mentok, dan
memang bukan bakat asli saya…” lanjut Pak Odih.
“Tapi kan yang muda-muda banyak yang propesional
Pa, kan itu lebih bagus…” kata Kabayan. Pak Odih mengangguk, “Kalau dari
segi kemampuan sih iya. Sayangnya, menurut saya, ada yang hilang dari
guru kalau ditempatkan dalam posisi seperti itu. Rohnya. Guru itu bukan
sekadar pengajar, tapi pendidik. Pengajar yang baik belum tentu pendidik
yang baik, dan pendidik yang baik belum tentu juga pengajar yang baik.
Kalau profesional harusnya keduanya. Menurut saya, tuntutan profesional
itu kok malah lebih banyak soal administratif, harus mengajar sekian
jam, harus begini, harus begitu. Semua yang dihitung itu soal
pengajaran, tapi ukuran soal kependidikannya malah kurang..” kata Pak
Odih lagi.
“Kok bisa Pak?” tanya Kabayan lagi. “Ya memang
susah, hasil pendidikan itu lebih susah menghitungnya ketimbang hasil
pengajaran. Kalau hasil pengajaran gampang dilihat, anak-anak nilainya
dapat berapa, prestasinya apa, ujian lulus semua atau tidak. Tapi kalau
ukuran keberhasilan pendidikan, misalnya berapa anak yang jadi anak
baik, anak soleh, anak berbakti, nggak ada ukurannya. Dan bagian itu
malah jadi tidak diperhatikan. Asal anak-anak lulus semua, sekolah sudah
senang. Kalau ada anak nakal, hukumannya juga ke unsur pengajaran,
tinggal kelas, dikeluarkan, dikriminalisasi kalau pelanggarannya agak
berat. Padahal, kesalahan itu kan nggak selalu karena anak-anaknya,
mungkin karena kita juga sebagai gurunya yang lebih memperhatikan
pengajaran, bukan pendidikannya…” kata Pak Odih lagi.
“Memangnya kalau anak bandel itu yang salah guru
Pak?” tanya Kabayan lagi. “Ya nggak juga. Bisa memang karena pergaulan,
keluarga, macem-macem lah. Guru nggak bisa disalahkan sepenuhnya. Tapi
bukan berarti juga lepas tanggungjawab. Mungkin cara kita terlalu kaku,
atau jangan-jangan kita juga yang ikut membentuk mereka menjadi nakal,
misalnya tugas terlalu banyak, tuntutan terlalu tinggi, dan anak-anak
itu jadi stres terus melakukan pelampiasan yang salah….” jawab Pak Odih.
“Haduh, ternyata jadi guru susah ya Pak?” komentar
Kabayan. Pak Odih tersenyum, “Ya kalau disebut susah enggak juga, cuma
berat. Kadang apa yang kita anggap bener buat anak, belum tentu bener
juga buat anaknya. Membuat anak jadi pinter itu bener, tapi harus pinter
juga supaya kita membuat anak menjadi bener. Dan membuat anak yang
pinter dan bener itu juga harus dimulai dari guru yang pinter dan
bener….” jawab Pak Odih.
“Kalau bapak sendiri, sudah merasa jadi guru yang
pinter dan bener?” tanya Kabayan sambil tersenyum. Pak Odih tersenyum
pahit, “Ah saya mah
nggak mau menilai diri saya sendiri Yan, nggak obyektif. Saya sendiri
merasa bukan guru yang pinter, tapi minimal saya berusaha untuk jadi
guru yang bener lah…” jawabnya.
“Berarti nggak propesional dong Pak?” kata Kabayan.
“Ya memang begitu, harusnya dua-duanya. Tapi susah. Biarlah saya jadi
guru terakhir yang hanya punya kemampuan sebelah itu. Nanti yang
muda-muda yang menggantikan saya yang harus punya keduanya…” jawab Pak
Odih.
“Kalau Jang Omad?” tanya Kabayan. “Ya itu contoh
guru yang bener, pinter dan bener. Pinter ngajarnya, bener
mendidiknya..” jawab Pak Odih lagi.
“Tapi kan masih guru honor…” kata Kabayan. Pak Odih
tersenyum pahit, “Ya itu lah, jadi guru yang pinter dan bener juga
masih harus ditambahi satu hal lagi, nasib baik….” jawabnya.
“Ngomong-ngomong, hari ini kok berangkat pagi
sekali Pak?” tanya Kabayan sebelum berpisah. “Mau upacara Yan, hari ini
Hari Guru Nasional…” jawab Pak Odih. Kabayan mengangguk-angguk, “Oh
begitu, ya selamat hari guru atuh Pak. Semoga menjadi guru yang
pinter dan bener…” kata Kabayan. Pak Odih nyengir, “Ah omonganmu malah
membuat saya tersindir Yan…” kata Pak Odih. Kabayan ikutan nyengir,
“Nggak nyindir Pak, itu mah doa…” katanya. “Iya deh, amin….” kata Pak
Odih lagi. “Amin-nya kok kayak terpaksa Pak?” tanya Kabayan lagi.
Pak Odih garuk-garuk kepala, “Nanti lah saya
renungkan lagi, sambil upacara, mudah-mudahan saya tetap semangat
menjadi guru sambil berusaha menjadi guru yang baik dan bener…” katanya.
Kabayan langsung mengamini, nggak pake terpaksa.
Copas from Alip Yoga Kunandar/Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar