HARI GURU NASIONAL (Buat Yang Merasa Profesional dan Bersertifikat)

Kalau ngomongin nasib guru mah nggak bakalan ada habisnya Yan. Dulu saya juga puya guru yang hebat, Pak Sadi. Tapi nasibnya jauh lebih buruk. Waktu berusaha menjadi PNS, ketauan kalau orang tuanya dulu tercatat sebagai anggota organisasi terlarang. Pak Sadi terganjal, bahkan sebagai guru honorer saja tak bisa lagi dipertahankan, karena aturan dulu, meski yang terlibat organisasi terlarang itu orang tuanya, anaknya juga dianggap tidak bersih. Padahal, menurut Pak Sadi, bapaknya juga nggak bener-bener anggota oorganisasi itu, seingatnya, ia hanya pernah dikasih cangkul oleh salah satu aktivis organisasi itu. Nggak pernah daftar, nggak pernah ikut kegiatan, dan tau-tau namanya sudah terdaftar…”
“Pak Sadi almarhum?” tanya Kabayan. Pak Odih mengangguk, “Iya itu. Itu kan dulunya guru aljabar eh matematika kalau sekarang mah, kalau ngajar itu enak, gampang dimengerti. Tapi setelah kejadian itu, ia nggak ngajar lagi, jadi petani. Padahal dulu sekolah nggak mempermasalahkan itu, tapi Pak Sadi-nya sudah terlanjur sakit hati pada negara, dan katanya sih sempat diintimidasi aparat..” jawab Pak Odih.
“Kalau sekarang, apa enaknya jadi guru Pak?” tanya Kabayan lagi. “Ya mungkin karena sekarang guru sudah dianggap sebagai profesi, jadi lebih dihargai. Tapi saya sendiri nggak merasa bahwa guru itu profesi, nggak mau tepatnya. Saya masih merasa pekerjaan ini sebagai pengabdian. Soalnya kalau saya menganggap pekerjaan saya sebagai profesi, biasanya yang terpikir itu hanya urusan hasil pribadi, bukan dampak pekerjaannya. Kalau jadi profesi, kesannya saya mencari keuntungan dengan pekerjaan itu. Tuntutannya juga tinggi, harus profesional. Padahal saya sendiri nggak merasa sebagai guru yang profesional, rasanya kemampuan mengajar saya juga nggak berkembang banyak, masih seadanya. Saya memang berusaha, tapi ya sudah mentok, dan memang bukan bakat asli saya…” lanjut Pak Odih.
“Tapi kan yang muda-muda banyak yang propesional Pa, kan itu lebih bagus…” kata Kabayan. Pak Odih mengangguk, “Kalau dari segi kemampuan sih iya. Sayangnya, menurut saya, ada yang hilang dari guru kalau ditempatkan dalam posisi seperti itu. Rohnya. Guru itu bukan sekadar pengajar, tapi pendidik. Pengajar yang baik belum tentu pendidik yang baik, dan pendidik yang baik belum tentu juga pengajar yang baik. Kalau profesional harusnya keduanya. Menurut saya, tuntutan profesional itu kok malah lebih banyak soal administratif, harus mengajar sekian jam, harus begini, harus begitu. Semua yang dihitung itu soal pengajaran, tapi ukuran soal kependidikannya malah kurang..” kata Pak Odih lagi.
“Kok bisa Pak?” tanya Kabayan lagi. “Ya memang susah, hasil pendidikan itu lebih susah menghitungnya ketimbang hasil pengajaran. Kalau hasil pengajaran gampang dilihat, anak-anak nilainya dapat berapa, prestasinya apa, ujian lulus semua atau tidak. Tapi kalau ukuran keberhasilan pendidikan, misalnya berapa anak yang jadi anak baik, anak soleh, anak berbakti, nggak ada ukurannya. Dan bagian itu malah jadi tidak diperhatikan. Asal anak-anak lulus semua, sekolah sudah senang. Kalau ada anak nakal, hukumannya juga ke unsur pengajaran, tinggal kelas, dikeluarkan, dikriminalisasi kalau pelanggarannya agak berat. Padahal, kesalahan itu kan nggak selalu karena anak-anaknya, mungkin karena kita juga sebagai gurunya yang lebih memperhatikan pengajaran, bukan pendidikannya…” kata Pak Odih lagi.
“Memangnya kalau anak bandel itu yang salah guru Pak?” tanya Kabayan lagi. “Ya nggak juga. Bisa memang karena pergaulan, keluarga, macem-macem lah. Guru nggak bisa disalahkan sepenuhnya. Tapi bukan berarti juga lepas tanggungjawab. Mungkin cara kita terlalu kaku, atau jangan-jangan kita juga yang ikut membentuk mereka menjadi nakal, misalnya tugas terlalu banyak, tuntutan terlalu tinggi, dan anak-anak itu jadi stres terus melakukan pelampiasan yang salah….” jawab Pak Odih.
“Haduh, ternyata jadi guru susah ya Pak?” komentar Kabayan. Pak Odih tersenyum, “Ya kalau disebut susah enggak juga, cuma berat. Kadang apa yang kita anggap bener buat anak, belum tentu bener juga buat anaknya. Membuat anak jadi pinter itu bener, tapi harus pinter juga supaya kita membuat anak menjadi bener. Dan membuat anak yang pinter dan bener itu juga harus dimulai dari guru yang pinter dan bener….” jawab Pak Odih.
“Kalau bapak sendiri, sudah merasa jadi guru yang pinter dan bener?” tanya Kabayan sambil tersenyum. Pak Odih tersenyum pahit, “Ah saya mah nggak mau menilai diri saya sendiri Yan, nggak obyektif. Saya sendiri merasa bukan guru yang pinter, tapi minimal saya berusaha untuk jadi guru yang bener lah…” jawabnya.
“Berarti nggak propesional dong Pak?” kata Kabayan. “Ya memang begitu, harusnya dua-duanya. Tapi susah. Biarlah saya jadi guru terakhir yang hanya punya kemampuan sebelah itu. Nanti yang muda-muda yang menggantikan saya yang harus punya keduanya…” jawab Pak Odih.
“Kalau Jang Omad?” tanya Kabayan. “Ya itu contoh guru yang bener, pinter dan bener. Pinter ngajarnya, bener mendidiknya..” jawab Pak Odih lagi.
“Tapi kan masih guru honor…” kata Kabayan. Pak Odih tersenyum pahit, “Ya itu lah, jadi guru yang pinter dan bener juga masih harus ditambahi satu hal lagi, nasib baik….” jawabnya.
“Ngomong-ngomong, hari ini kok berangkat pagi sekali Pak?” tanya Kabayan sebelum berpisah. “Mau upacara Yan, hari ini Hari Guru Nasional…” jawab Pak Odih. Kabayan mengangguk-angguk, “Oh begitu, ya selamat hari guru atuh Pak. Semoga menjadi guru yang pinter dan bener…” kata Kabayan. Pak Odih nyengir, “Ah omonganmu malah membuat saya tersindir Yan…” kata Pak Odih. Kabayan ikutan nyengir, “Nggak nyindir Pak, itu mah doa…” katanya. “Iya deh, amin….” kata Pak Odih lagi. “Amin-nya kok kayak terpaksa Pak?” tanya Kabayan lagi.
Pak Odih garuk-garuk kepala, “Nanti lah saya renungkan lagi, sambil upacara, mudah-mudahan saya tetap semangat menjadi guru sambil berusaha menjadi guru yang baik dan bener…” katanya. Kabayan langsung mengamini, nggak pake terpaksa.

Copas from Alip Yoga Kunandar/Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar