
, Jakarta - Pengajar IPB Universitas dari Sekolah Kedokteran Hewan Dan Biomedis (SKHB), Denny Widaya Lukman, menyatakan bahwa praktik gelonggongan sangat menyiksa hewan dan bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan serta syariat penyembelihan dalam Islam. Praktik ini dapat ditemukan di pasar hewan kurban yang menyambut Hari Raya Idul Adha seperti saat ini.
Praktik gelonggongan adalah dengan sengaja memberi makan berlebihan untuk menambah berat badan hewan sebelum dijual. Menurut Denny, praktik ini tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga membahayakan kesehatan hewan itu sendiri.
"Cara seperti ini sangat menyiksa sapi sebelum disembelih dan tidak memenuhi kaidah kesejahteraan hewan," ujar Denny melalui keterangan tertulis, Jumat, 30 Mei 2025.
Menurutnya, praktik gelondongan sudah terjadi sejak awal tahun 2000-an. Sapi yang digelondongkan biasanya diberi air melalui mulutnya menggunakan selang dengan paksa 1–2 jam sebelum disembelih.
Denny mengungkapkan ciri-ciri sapi yang digelonggong antara lain perut yang terlihat membesar dan hewan tersebut tampak lemah, bahkan tidak bisa berdiri, karena bobotnya bisa meningkat hingga 20–40 persen. "Kalau satu kilogram daging gelonggongan, maka ketika air keluar, bobot bersihnya hanya sekitar 600–800 gram," katanya.
Secara umum, menurut Denny, daging hewan hasil gelonggongan biasanya terlihat basah di permukaan dan jika digantung dapat meneteskan sedikit air, meski sulit dikenali secara kasat mata. Terlebih lagi jika daging sudah dalam bentuk beku.
Oleh karena itu, untuk daging beku, ia menyarankan masyarakat memilih daging dalam kemasan berlabel agar lebih terjamin kualitasnya. "Daging gelonggongan yang dibekukan tidak bisa dibedakan dengan daging normal, jadi sebaiknya pilih daging yang sudah dikemas dan memiliki label," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar