
, Jakarta - Pengajar Fakultas Ekologi Manusia Universitas IPB , Nur Islamiah, mengatakan program pembinaan di barak militer Sebagai respons terhadap meningkatnya kenakalan remaja, patut diapresiasi sebagai upaya nyata membentuk disiplin dan karakter generasi muda.
Namun, tambahnya, agar program ini memberikan dampak jangka panjang, pendekatan yang digunakan perlu disandingkan dengan pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap akar perilaku anak, khususnya dari perspektif psikologi dan lingkungan ekologis anak.
Psikolog tersebut mengatakan bahwa dalam ilmu psikologi perilaku menyimpang tidak semata-mata merupakan bentuk kenakalan, melainkan “sinyal” dari ketidakseimbangan dalam ekosistem kehidupan anak.
Dia menyebut teori ekologi dari Bronfenbrenner yang menekankan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem yang saling terkait, mulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan sosial yang lebih luas.
"Ketika seorang anak menunjukkan perilaku bermasalah, pertanyaan penting seharusnya diarahkan ke lingkungan terdekatnya, apakah anak merasa diperhatikan, diasuh secara konsisten, dan diliputi rasa aman?" ujar sosok yang kerap disapa Ibu Mia ini melalui keterangan tertulis, Sabtu, 31 Mei 2025.
Mengutip teori kelekatan dari Bowlby, Mia mengatakan bahwa ketiadaan hubungan emosional yang aman dengan orang tua atau pengasuh utama dapat membuat anak kesulitan mengelola emosi. Dalam banyak kasus, perilaku negatif menjadi cara anak “berteriak”, tanda untuk mengekspresikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Jika kondisi ini hanya direspons dengan pendekatan militeristik seperti push-up , berbaris-berbaris, atau kegiatan fisik lainnya, maka bukan hanya perubahan perilaku yang tidak tercapai secara berkelanjutan, tetapi juga muncul risiko menambah luka psikologis yang tersembunyi,” katanya.
Mia juga mengungkapkan teori pembelajaran sosial dari Bandura. Teori ini menekankan bahwa anak belajar melalui pengamatan dan peniruan terhadap figur di sekitarnya. Jika ia tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan atau ketegangan emosional, pola perilaku tersebut yang cenderung direproduksi.
"Oleh karena itu, anak tidak cukup hanya diberi perintah, tetapi perlu diberikan contoh konkret tentang empati, komunikasi yang sehat, dan pengendalian emosi. Oleh karena itu, titik paling krusial yang tidak boleh diabaikan dalam pendidikan anak adalah peran dan tanggung jawab orang tua," katanya.
Mia melanjutkan, ketika seorang anak dianggap 'nakal', maka sangat mungkin yang ia lakukan adalah cerminan dari pola asuh di rumah. Oleh karena itu, tegasnya, orang tua juga perlu dibina. Tidak cukup hanya membina anak di luar rumah jika pola pengasuhan dalam keluarga tetap tidak berubah.
“Program seperti ini akan jauh lebih kuat jika orang tua diberikan pelatihan paralel, yakni tentang pola asuh yang sehat, keterampilan komunikasi, dan cara mengelola emosi dalam menghadapi dinamika anak dan remaja,” katanya.
Untuk memastikan perubahan benar-benar mencapai sasaran dan berkelanjutan, Mia menyarankan adanya asesmen psikologis menyeluruh sebelum dan setelah program. Selain itu, diperlukan pendampingan psikososial selama pelaksanaan, serta evaluasi berkala yang menilai tidak hanya perilaku, tetapi juga kondisi emosional anak.
“Semoga kebijakan yang telah dijalankan dapat terus dikembangkan menjadi ruang pembinaan yang tidak hanya membentuk kedisiplinan, tetapi juga menyuburkan kembali nilai-nilai luhur dalam diri anak,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar